Himpunan Mahasiswa Jurusan Syari'ah Jinayah wa Siyasah
Image by Cool Text: Free Graphics Generator - Edit Image e-Mail: himajinasiarraniry@yahoo.co.id

Sabtu, 31 Maret 2012

PENGAWASAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH

Oleh : Ainur Rahmah

Di Lihat Dari Pengertian Syari’at islam dan Pemahamannya
Syari’at islam secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Secara terminologi syari’at islam dipahami sebagai aturan Tuhan yang bersifat sakral yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Syari’at mengandung seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.[1]
Pada dimensi kedua, manusia berkedudukan sebagai objek yang di atur, diayomi dan dilindungi oleh syari’at. Dalam dimensi ini manusia dijadikan sebagai arena kerja syari’at, karena tanpa manusia syari’at yang bersifat normatif sakralitas tidak memiliki arena oparisional berupa tempat penerapan syari’at. Syari’at ditujukan untuk mengatur prilaku manusia.
Dilihat Dari Segi Pengawasannya
Penerapan syari’at islam dalam lintasan sejarah ternyata mengacu pada kerangka pikir di atas. Hal ini cukup terasa bila kita menyimak dinamika kreasi hukum islam, terutama pada masa sahabat, dimana wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah saw. Ketika itu permasalahan hukum terus bermunculan seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan islam. Ajaran islam yang temuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dipahami sahabat dalam semangat filosofis,sosiologis,fleksibilitas dan universalitas dengan tetap bermuara pada tingkat tinggi bahwa syari’at islam hakikatnya membawa misi Rahmatan lil’alamin.
Didalam pengawasan syari’at islam di aceh yang merupakan hal yang tabuh di bicarakan saat ini, bahwasanya Nanggroe Aceh Darussalam ini dikenal sebagai provinsi yang memiliki status istimewa dan karakteristik tersendiri. Dan demikian juga Aceh ini merupakan rangkaian provinsi yang berada di diwilayah Negara Republik Indonesia. Status istimewa tersebut karena memiliki ada beberapa hal yakni[2] :
a.       Posisi kebudayaan masyarakat Aceh yang Khas
b.      Potensi kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat Aceh tersebut dan dalam provinsinya
c.       Serta kiprah masyarakat Aceh yang besar serta berharga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian dalam bab pembahasan ini kami mencoba untuk mengupas dari beberapa materi yang kami dapat tentang pengawasan syari’at islam di aceh yakni mulai dari yang mengenai tentang Qanun,   teori penerapannya serta pelaksanaan syari’at islam di aceh.
1.      Qanun syari’at islam di aceh
Undang-undang No.44 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 mengamanatkan bahwa di Aceh diberlakukan syari’at islam secara kaffah. Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh menjadi payung hukum pengaturan syari’at islam secara lebih teknis akan diatur dalam qanun aceh.[3]
Kata Qanun berasal dari bahasa Arab yang berarti Undang-undang. Qanun dapat juga bermakna kumpulan materi ukum yang tersusun secara sistematis dalam suatu lembaran negara dikenal dengan undang-undang. Dalam sejarah perundang-undangan islam, qanun ini disusun sebagai materi hukum dalam suatu bidang, baik bidang hukum perdata maupun bidang hukum pidana.
Jadi bila kita cermati bahwa posisi Qanun Aceh sebagai penjelasan UU. No. 11 Tahun 2006, maka kedudukan qanun ini cukup kuat. Artinya, kedudukan dan fungsinya sama dengan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang. Jadi keberadaan qanun di provinsi Aceh menjadi penting karena sebagai peraturan pelaksana dari seluruh materi hukum yang terdapat dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).[4]
2.      Teori Penerapan Syari’at Islam
Teori ini ada disebut dengan teori Maqashid As-Syari’ah yaitu secara lughawi (kebahasaan) terdiri atas dua kata yaitu maqashid dan as-syari’ah. Kata maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan kata syari’ah berarti jalan menuju sumber air (jalan menuju sumber mata air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan menuju kehidupan).
Adapun Maqashid As-Syari’ah mengandung empat aspek yaitu :
a.       Tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia didunia dan di akhirat
b.      Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami
c.       Syari’at sebagai suatu hukum taklif yang harus dilaksanakan
d.      Tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.[5]
3.      Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh
Dalam pelaksanaan syari’at islam, ada kalana kita mengetahui dulu bagaimana pelaksanaan syari’at islam masa awal islam yakni :
a.       Pelaksanaaan syari’at masa awal islam
Pelaksanaan syari’at islam pada masa Rasulullah saw. Secara umum dapat di bagi kepada dua periode yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Dalam periode Mekkah penekanan pelaksanaan syari’at islam dalam bidang Aqidah dan Akhlak sebagai landasan fundemental dalam membangun masyarakat muslim. Periode ini memerlukan waktu 13 tahun. Dalam periode Madinah pelaksanaan syari’at islam sudah difokuskan pada aspek hukum dan sosial kemasyarakatan. Periode ini memerlukan waktu lebih kurang 10 tahun. Sumber hukum pada masa Rasulullah saw adalah Al-qur’an, Al-Hadis, Al-ijma’ dan Al-Qiyas. Sumber ini diikiuti oleh para ulama sepeninggal Rasulullah saw.
Mengenai aspek-aspek syari’at islam yang dilaksanakan pada masa Rasul dan sahabat adalah mencakup seluruh aspek (kaffah) yang mencakup bidang aqidah, ibadah dan sosial dengan aturan pelaksanaan secara bertahap. Mahmud Syaltut, salah seorang ulama kontenporer, membagi syari’at islam menjadi dua bagian besar yaitu aqidah dan syari’ah. Dimana Aqidah adalah mengenai pokok-pokok keyakinan, meliputi kepercayaan tentang Allah dan sifat-sifatnya, tentang rasul, tentang kitab-kitab suci, tentang balasan kebaikan dengan surga dan neraka. Sedangkan Syari’ah adalah ajaran dan tuntunan mengenai tata aturan kehidupan praktis, bagaimana cara seorang muslim menyembah Allah, bagaimana seorang muslim melakukan interaksi dengan keluarga dan masyarakat seiktar serta bagaimana manusia dapat melaksanakan perbuatan yang tidak mengganggu orang lain.
Kemudian mengenai metode pelaksanaan syari’at islam, yakni pelaksanaan syari’at islam secara kaffah yang dilaksanakan secara bertahap dan mengutamakan kesadaran hukum para sahabat dan umat islam pada masa Rasul. Banyak aturan hukum yang ditaati oleh warga masyarakat pada masa itu dan hampir-hampir tidak ada orang yang melanggarnya. Metode lain yang juga dilaksanakan oleh Rasulullah an sahabat adalah metode ketauladan yang membentuk masyarakat. Melalui ketauladan ini lah maka hukum-hukum Al-Qur’an akan mudah disosialisasikan dan dan diterapkan dalam masyarakat.
b.      Pelaksanaan Syari’at islam pada saat ini (Aceh)
Yaitu bila kita cermati bahwa posisi Qanun Aceh sebagai penjelasan UU. No. 11 Tahun 2006, maka kedudukan qanun ini cukup kuat. Artinya, kedudukan dan fungsinya sama dengan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang. Jadi keberadaan qanun di provinsi Aceh menjadi penting karena sebagai peraturan pelaksana dari seluruh materi hukum yang terdapat dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Secara lebih jauh istilah qanun ini secara leterlek tidak dikenal dalam hiarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga ada sebagian kalangan menggap bahwa keberadaan Qanun Aceh merupakan sesuatu yang tidak lazim dalam sistem hukum nasional. Bahkan qanun ini menempati posisi yang lemah, sehingga dapat dilakukan judical review oleh Mahkamah Agung bilamana materi yang dikandungnya bertentangan yang lebih tinggi, dan kepentingan umum.
Berkaitan dengan syari’at islam, UU No. 18 Tahun 2006 juga mengamanatkan agar diatur dan disusun qanun-qanun yang berkaitan dengan syari’at islam, agar obsesi pelaksanaan syari’at islam secara kaffah dapat berjalan dengan baik dan sempurna di Aceh. Tanpa ada aturan berupa qanun sulit dapat dibayangkan bagaimana syari’at islam dapat dibayangkan bagaimana syari’at dapat ditegakan oleh aparatur penegak hukum syari’at di Aceh.
Namun kita lihat dari pelaksanaan syari’at islam atau yang mengenai Qanun-qanun syari’at islam yang ada selama ini juga tidak banyak beranjak dari hasil riset yang matang, sehingga materi qanun tersebut cenderung tidak banyak yang berakar dalam kenyataan sosial masyarakat. Hal ini tentunya akan berakibat terjadinya ketidak sesuaiannya masyarakat terhadap materi qanun, ketika akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun masyarakat memberi ketidak sesuaian , namun negara tetap memiliki kewenangan untuk melakukan pemaksaan bila terjadi pelanggaran terhadap qanun.
Kemudian yang paling penting saat ini adalah pelaksanaan syari’at islam di aceh sekarang ini tidak luput dari konsep tadarruj atau bertahap-tahap karena memang pelaksanaan syari’at islam tidak akan dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan sekaligus. Pelaksanaan syari’at islam dilakukan secara bertahap dan berangsur-angsur sesuai dengan kesiapan dan perkembangan masyarakat.
c.       Hambatan pelaksanaan syari’at islam di aceh
            Mahkamah Syar’iyah yang telah berjalan sejak tahun 2001 sampai hari ini banyak mengalami hambatan yang dihadapinya. Kesulitan yang paling mendasar adalah karena perangkat hukum yang dimiliki saat ini belum memadai. Qanun yang mengatur hukum formil yang mendukung pelaksanaan qanun hukum materil yang telah disahkan belum ada. Hal ini diakui oleh sebagian aparat penegak hukum, baik dari kepolisian, kejaksaan maupun hakim mahkamah syar’iyah.
            Akibatnya, terdapat hambatan yang luar biasa untuk penegakan qanun materil jinayah. Hukum materil jinayah tidak dapat dijalankan, bila tidak ada hukum formil jinayah atau hukum acara jinayah. Akibatnya aplikasi hukum materil di lapangan mendapat kendala yang cukup berarti. Sedangkan dari segi hukum materil tidak terkendala yang berarti karena telah ada qanun jinayah yang dapat menjadi pegangan bagi hakim mahkamah syar’iyah. Keberadaan hukum acara jinayah sangat mendesak, demi menjaga kepastian hukum dalam rangka menjalankan proses dan penegakan hukum bagi pelanggar syari’at.
            Ketidak pastian tindakan aparat penegak hukum dalam menahan tersangka atau pelaku pelanggaran qanun jinayah, dikarenakan belum adanya hukum acara pidana jinayah (hukum formil). Hal ini tentu sangat menyulitkan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Bila hal ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan ketidak pastian hukum baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat. Maka ditegaskan perlunya hukum acara jinayah demi kelancaran penegakan hukum dalam hukum materil.
                   Jadi dalam pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Syari’at islam secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Secara terminologi syari’at islam dipahami sebagai aturan Tuhan yang bersifat sakral yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Syari’at mengandung seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
2.       Adapun Maqashid As-Syari’ah mengandung empat aspek dalam penerapan syari’at islam yaitu :
a.       Tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia didunia dan di akhirat
b.      Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami
c.       Syari’at sebagai suatu hukum taklif yang harus dilaksanakan
Tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.
3.      Kemudian yang paling penting saat ini adalah pelaksanaan syari’at islam di aceh sekarang ini tidak luput dari konsep tadarruj atau bertahap-tahap karena memang pelaksanaan syari’at islam tidak akan dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan sekaligus. Pelaksanaan syari’at islam dilakukan secara bertahap dan berangsur-angsur sesuai dengan kesiapan dan perkembangan masyarakat.
4.      Dan adapun hambatan menjalankan syari’at islam di aceh saat ini yaitu akibatnya, terdapat hambatan yang luar biasa untuk penegakan qanun materil jinayah. Hukum materil jinaya tidak dapat dijalankan, bila tidak ada hukum formil jinayah atau hukum acara jinayah.



[1] Prof.Dr. Syahrizal Abbas, Syari’at Islam di Aceh, Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, 2009, Banda Aceh, hlm 9
[2] Tengku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1999, hlm 244
[3] Ibid 1
[4] Dr. Al-Yasa’ Abu Bakar, sekilas Syari’at Islam di Aceh,  Dinas Syari’at Islam, Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam,
[5] Muhammad Said Al-Asmawi, Problematika dan Penerpan Syari’at Islam dalam Undang-undang, Gaung persada Press, Ciputat, 2005,hlm 31-34

0 komentar:

Posting Komentar

Please, Give Us Ur Coment's and We Will Be Good Insyaa Allah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls