Himpunan Mahasiswa Jurusan Syari'ah Jinayah wa Siyasah
Image by Cool Text: Free Graphics Generator - Edit Image e-Mail: himajinasiarraniry@yahoo.co.id

Rabu, 28 Maret 2012

PEMIKIRAN POLITIK NURCHOLIS MADJID


Oleh: Rafsanjani

Nurchalis madjid merupakan salah satu tokoh pemikir pembaharuan dalam dunia politik islam di Indonesia. Pengakuan atas perannya dalam dunia politik tampak dalam kenyataan pada pemikiran dan tulisannya di berbagai media di tanah air. Dalam menggambarkan peta pemikiran politik islam, Nurchalis madjid lebih banyak berkaca pada pemikiran para pemikir teologis filosofis barat sehingga pemikiran politik yang ia kembangkan cenderung liberal dan bertentangan dengan ajaran islam.
Dalam cara berpolitik, ia mengatakan bahwa orientasi keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi terhadap pemerintah. Menurutnya, hal ini disebabkan islam memainkan suatu peranan konsisten sebagai sebuah ideologi (rallying ideology) terhadap kolonialisme. peranan ini menghasilkan kemerdekaan nasional. karena kaum muslim mengemukakan gagasan politik yang tidak sesuai dan tidak sebangun dengan tuntunan praktis era sekarang, sehingga tumbuhlah prasangka politik yang berorientasi islam dengan pemerintah yang berorientasi nasional.
Nurchalis madjid juga mengutip pendapat Marshall G.S. Hodgson tentang praktik politik orang muslim, Hodgson dalam bukunya “The Venture of Islam”jilid 3 hal.387 mengungkapkan “sebenarnya perhatian terlalu cepat para pemodern bersifat politis jika sesuatu yang khas Muslim dimaksudkan sebagai daya pendorong pertahanan dan perubahan social, maka Islam tentu berorientasi politisdan sosial. maka  mereka yang syariat mindedlah yang peduli sejarah dan tatanan social seperti itu. memang mereka yang hadis mindedlah yang paling tegar mengkritik status quo, seperti  para pembahru semisal kaum Hanabilah. terlebih lagi, sisi Islam yang paling tampak konsisten dengan masyarakat modern yaitu yang paling mencerminkan cosmopolitanisme merkantil, individualistis, dan pragmatis, bertentangan dengan norma norma aristokratik tatanan msyarakat agraris. pramodern telah dibawa ulama syar’ie. sebaliknya kaum islam sufi yang menekan dimensi batiniah keimanan yang lebih memperhatikan hubungan antar pribadi, telah memenuhi kebutuhan kebutuhan yang muncul dalam lembaga lembaga social pada masa masa pramodern, dan sekarang cenderung secara politis bersifat konservatif.[1]
Nurchalis madjid juga menolak konsep Negara islam, hal itu dipertegasnya dalam ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki yang kedua tahun 1972, yang mana sebagian isi ceramah itu sebenarnya merupakan pemikirannya terhadap epistimologi Islam, khususnya menyangkut dua pendekatan, yaitu pendekatan imani yang menyangkut masalah masalah keagamaan yang ukhrawi dan pendekatan ilmiah ynag meliputi masalah masalah keduniaan, baik tentang alam materi maupun social. pendekatan imani menghasilkan ibadah kepada Allah yang akan berdampak pada penyempurnaan budi luhur manusia. sementara pendekatan ilmiah harus bersifat rasional empiris yang mengahsilkan konsep amal amal sholeh.
Ia juga mengkritik konsep Negara islam yang dianggapnya sebagai sebuah apologia saja. menurutnya ada sebab mengapa umat Islam bersiakap apologi terhadap pemikiran pemikiran mereka. Pertama, sikap defensive mereka terhadap serbuan ideology ideology barat (modern), seperti demokrasi, sosialisme dan sebagainya yang bersifat totaliter. Umat islam menjawab serbuan itu dengan kosep al- Dien yang mencakup kesatuan agama dan Negara, namun tidak didasarkan kepada kajian ilmiah, hanya merupakan apologia ilusif saja. kedua, paham legalisme yang yang hanya dihasilkan oleh tuntunan pendekatan fikihisme, sehingga Negara dinilai sebagai susunan hokum yang disebut syariat. padahal, menurutnya, kajian kajian fikih di zaman modern telah kehilangan relevansinya terhadap persoalan persoalan masyarakat yang senantiasa berubah.
Negara misalnya, adalah suatu gejala yang berdimensi nasional objektif, sedangkan agama berdimensi spiritual yang bersifat pribadi, keduanya memang saling berkaitan, namun tetap dibedakan. jika Negara ikut mengatur masalah agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la rahbaniyyah fi al Islam)tak ada otoritas kependetaan atau otoritas ulama dalam islam.[2]
Dalam masalah kepemimpinan menurut islam, nurcholis madjid juga mengatakan bahwa kerja sama yang harmonis antara masyarakat dan pemimpin merupakan suatu keharusan, sebab pada diri manusia juga terdapat kekuatan dan kelemahan sekaligus. kekuatan diperoleh karena hakikat kesucian asalnya berada dalam fitrah, yang membuatnya senantiasa berpotensi untuk benar dan baik. Adapun kelemahannya diakibatkan oleh kenyataan bahwa ia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lemah, pendek pikiran dan sempit pandangan serta mudah mengeluh. manusia dapat meningkatkan kekuatannya dalam kerja sama, dan dapat memperkecil kelemahannya juga melalui kerja sama.
Ia juga menyebutkan dalam konteks kekinian , syarat pokok bagi pemimpin adalah harus mampu mengembangkan tradisi dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak provokatif, maka suasana keterbuakaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Ia membandingkan model kepemimpinan orde lama dengan zaman reformasi, ia menyebutkan bahwa konsep kepemimpinan orde lama yang cenderung dictator seperti halnya orde baru  sudah tidak layak lagi digunakan di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang.[3]
Dalam pemikirannya tentang politik Islam, ia menyebutkan ada 3 pokok permasalahan yang harus dihadapi oleh umat islam, diantaranya adalah :
v  perlunya  cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran islam dengan cara tidak terjebak dalam paham tradisonalisasi islam, yakni dengan konsep sekularisasi yang menurut beliau tidak menjurus ke konsep sekularime.
v  perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak lagi terkungkung dalam kekangan doktrin yang membatasi umat islam mengembangkan wawasan mereka dalam bidang politik.
v  perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka erhadap umat lain.
Ia mengatakan bahwa muatan ideologis pada islam hendaknya dibuang, dengan demikian, islam sebagai al Dien tidak akan mengalami reduksi maknanya. menurut Nurchalis madjid, islam harus didefinisikan lebih inklusif- yang mencakup siapa saja dalam system keimanannya, termasuk muslim.
Ketika Nurchalis madjid mengatakan bahwa konsep pembentukan Negara islam adalah apologia semata, ia melihat bahwa watak dasar nasionalisme, sosialisme dan paham paham modern yang lain adalah paham yang bersifat totaliter, yang berarti secara menyeluruh ingin mengatur atau merekayasa kehidupan masyarakat. ia memperkirakan bahwa konsep “Negara islam” dimunculkan untuk menandingi paham paham sosialis, demokrasi atau lainnya. dalam hal ini, Islam telah diapresiasikan secara atau bersifat ideology politik yang juga berwatak totaliter.
Dalam hal ideology, Nurchalis madjid menjelaskan bahwa “islam itu sendiri  bukanlah sebuah teori atau ideology , lebih jauh ia mengatakan, dalam bidang politik islam berada pada posisi yang mengiringi syariah dan lebih dekat dengan filsafat…dengan dinamika dan wataknya sendiri.[4]
Tentang konsep Negara islam, nurchalis madjid menyebutkan bahwa konsep Negara islam adalah sebuah distorsi hubungan proporsional antara agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimenensinya adalah rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. lebih lanjut ia menyebutkan , memang antara Negara dan agama tidak dapat dipisahkan, yaitu terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi (sifat kebatinan iman)dan sikap bernegara melalui individu warga negara. namun antara keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan metodologinya. Karena suatu Negara tidak mungkin menembus dimensi spiritual guna mengatur dan mengawasi serta mengurus sikap bathin warga Negara, maka tak mungkin pula memberikan predikat keagamaan pada Negara tersebut.[5] Ini menunjukkan bahwa nurchalis madjid bukanlah pendukung politik islam, ini dibuktikan dengan pernyataannya bahwa islam bukanlah system politik.
End Notes


[1] nurchalis madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan Pustaka.2008:Jakarta
[2] m, dawam rahardjo, merayakan kemajemukan kebebasan dan berkebangsaan, kencana media.2010:jakarta
[3] Muhammad hari zamharir,Agama dan Politik,analisis kritis pemikiran politik Nurcholis madjid, Rajawali press:2004.jakarta
[4] drs. Faridi, Msi, Agama jalan kedamaian, Ghalia Indonesia.2002:Jakarta
[5] hartono ahmad jaiz, kursi panas pencalonan nurchalis madjid sebagai presiden, darul falah,2003:jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Please, Give Us Ur Coment's and We Will Be Good Insyaa Allah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls