Himpunan Mahasiswa Jurusan Syari'ah Jinayah wa Siyasah
Image by Cool Text: Free Graphics Generator - Edit Image e-Mail: himajinasiarraniry@yahoo.co.id

Kamis, 19 Januari 2012

Urgensi Qanun Ikhtilath


“Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka (Pasal 1 point 17, Raqan Jinayat)”.

Oleh | Ridha Hidayatullah, S.Hi

Penerapan syari’at Islam di bumi serambi mekkah ini  seakan sudah mati, semangat pihak yang  berwenang pun tak seperti pada awal-awal hukum langit ini diterapkan. Semakin hari semakin terlihat sangat lambat (stagnan), tidak ada kemajuan yang signifikan  meskipun penerapan Syari’at Islam (SI) sendiri sudah berusia lebih kurang sembilan tahun semenjak di deklarasikan oleh Gubernur Abdullah Puteh pada tahun 2002 yang lalu.

From Ridha Hidayatullah's FB
Indikasinya adalah;  Pertama,  qanun yang tidak bertambah. Kedua, pelanggaran syari’at terus merajalela. Timbullah pertanyaan di hati penulis, siapakah yang patut/berhak disalahkan dalam hal ini, apakah para pemimpin (umara), Dinas Syari’at Islamkah, Majelis Permusyawaratan Ulama, atau masyarakat sendiri. Sulit untuk menentukan siapa yang salah ketika semua orang merasa tidak bersalah, saya rasa semua mereka bisa dan layak untuk dipersalahkan.

Tidak adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat membuat pelaksanaan syari’at Islam di Aceh semakin tak diminati lagi. Apalagi  dalam beberapa bulan terakhir ini, masalah konflik regulasi Pemilukada mampu meng-KO-kan isu syari’at yang selalu terjadi di hadapan kita, setiap detik perbuatan ikhtilath aneuk Aceh menjadi tontotan yang menarik bagi orang tua aneuk Aceh. Mereka berpelukan, berciuman, berpegang-pegangan tangan di depan khalayak ramai, bahkan mereka berani berciuman di depan orang tua mereka sendiri (na`uzubillah). Kasus semacam Iktilath semakin mudah kita nikmati ketika weekend datang, setiap lapak (tempat) yang disediakan pihak pengelola pariwisata dipenuhi oleh para pengunjung, tidak lain tidak bukan kebanyakan mereka membawa pasangan masing-masing, bahkan terlihat  sangat asing ketika seseorang tidak duduk berdua bersama sang kekasih. Beginilah kelakuan aneuk Aceh hari ini.

Hindari ya ! ! ! !
Beberapa tahun terakhir semenjak diterapkannya syari’at Islam di Aceh, kita sering membaca di surat kabar tentang pelaku khalwat/mesum (Qanun NO 14 Tahun 2003) di tangkap dan di cambuk. Namun, di tengah maraknya kemaksiatan sekarang  jarang kita dengar bahkan tidak pernah kita saksikan lagi pelaku perbuatan haram itu di tangkap (dicambuk). Mungkin saja mereka (aktivis khalwat) telah menemukan konsep baru untuk melancarkan maksiat yang sudah terbiasa itu. Konsep baru yang mereka ciptakan  adalah menggunakan jalur ikhtilath dengan meninggalkan cara lama untuk mencapai sebuah kemaksiatan, sehingga maksiat pun dengan mudah untuk diakses. Maka,  jangan heran jika para polisi Syari’at Islam dalam hal ini WH (Wilayatul Hisbah) tidak bisa menangkap mereka walaupun nampak di depan mata  mereka melakukan perbuatan yang tak senonoh, berdua-duaan, berciuman, berpelukan ditengah jalan, di kaphee-kaphee (cafe) karena belum ada aturan yang mengatur tentang ikhtilath. Dengan demikian maka secara hukum dapat dikatakan bahwa perbuatan mereka masih tetap bisa berlanjut kecuali sudah ada aturan yang mengaturnya (azas legalitas).

Ini adalah fakta yang terjadi di kota BERIMAN (bersih, indah dan nyaman), jika ingin membuktikan silahkan keluar saja dari rumah, tidak perlu jauh untuk berjalan, saya yakin dan sangat percaya kasus-kasus seperti di atas sangat mudah untuk kita temukan. Apabila  kita hendak berkilah bahwa itu bukan anak kita (anak Aceh), bukan saudara kita, lantas anak siapa juga, saudara siapa juga, tidak mungkin anak  orang medan jalan-jalan ke Aceh setiap pagi, siang, malam, bahkan bermalam mingguan dengan pasangan yang belum halal baginya dengan mengendarai sepeda motor berplat BL.   

Cowok Keren
Bukankah ini suatu aib bagi daerah serambi mekkah yang berstatus Syari’at Islam, bagaimana kita harus menjelaskan kepada tamu-tamu dari daerah lain bahwa daerah kita adalah daerah yang berlaku Syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh), jika di daerah yang bersyariat ini masih terdapat banyak kasus ikhtilath, seharusnya kita harus menjadi contoh bagi daerah lain yang belum menerapkan Syari’at Islam, sehingga dengan indahnya praktek syari’ah di provinsi Aceh bisa menimbulkan kecemburuan pada provinsi lain untuk meminta pada pemerintah pusat agar diberi keleluasaan  untuk berlaku Syariat Islam secara legal formal,  jangan malah Provinsi ini menjadi bahan ejekan dengan label para pengkhianat hukum-hukum Allah SWT sehingga dapat sebutan Nanggroe Aneh Darussalam.

Maraknya praktek ikhtilat terutama di kota-kota akibat dari minimnya pemahaman agama yang dimiliki oleh para generasi Aceh, seoalah apa yang mereka perbuat itu tidak bertentangan dengan agama, tidak ada perasaan malu dari mereka karena budaya barat telah merasuki gaya hidup para generasi Aceh. Rusaknya generasi Aceh yang semakin hari-semakin jauh dari norma-norma agama Islam, fenomena ‘gila’ seperti ini memerlukan rumus jitu untuk mengembalikan mereka pada jalan yang benar.

Mencari jalan keluar

Peraturan tentang ikhtilath padahal telah diatur dalam rancangan Qanun Jinayat Tahun 2009, terlihat jelas pada pasal 1 point ke 17 sudah dijelaskan mengenai kriteria ikhtilath dan mengenai hukumannya (uqubat),  juga telah diatur pada pasal 22 dan pasal 23 dalam qanun yang sama. Namun, sayang seribu sayang rancangan qanun tersebut urung menjadi sebuah qanun. Hal ini dikarenakan  tidak disetujui (ditandatangani) oleh pemimpin kita tercinta, mungkin karena terdapat pasal rajam (Pasal 24, ayat , Raqan Jinayah,) di dalam rancangan qanun tersebut yang katanya melanggar Hak Asasi Manusia (Human Right). Padahal  hukuman rajam dalam Islam sangat susah untuk diterapkan karena Islam sangat melindungi jiwa manusia (Maqashid Syar’iyyah), hukum rajam lebih bersifat preventif (pencengahan) agar seorang tidak melakukan perbuatan zina.

Jika hukuman rajam dalam rancangan qanun Jinayah masih diperdebatkan karena banyak yang menilai melanggar HAM (orang yang tidak mafhum), apakah harus menanggalkan aturan-aturan lain yang ada dalam rancangan qanun tersebut, penulis rasa tindakan seperti itu amat keliru, merujuk pada sebuah istilah ‘apabila tidak sanggup  melakukan semua maka jangan tinggalkan semua’. Kita semua berharap para anggota dewan terhormat (legislatif) dan pemimpin kita tercinta (eksekutif) mau  membahas kembali rancangan qanun jinayah agar kasus ikhtilath tidak terus dipraktekkan oleh aneuk Aceh. Apabila rancangan qanun jinayah enggan untuk dibahas kembali, maka jadikan bab Ikhtilath yang menjadi bagian dari rancangan qanun jinayah sebagai suatu rancangan qanun tersendiri (terpisah), kemudian diparipurnakan dan cepat-cepat untuk disahkan.

Selain perlunya qanun tentang Ikhtilath, Peran orang tua juga sangat diperlukan dalam mencegah praktek ikhtilath, orang tua harus lebih intens mengontrol pergaulan anaknya di luar rumah, jangan  memberi  keleluasaan penuh karena hal yang demikian akan menjadi bumerang bagi anak dan juga orang tua. Banyak terjadi pelanggaran syari’at terutama oleh kaum pemuda/i dan juga remaja disebabkan oleh nihilnya kontrol orang tua mengenai pergaulan anak di luar rumah (lingkumgan), tanyakan pada si anak hendak pergi kemana, dengan siapa, berilah pencerahan-pencerahan tentang agama untuk anak jangan malah mendiamkan (menyetujui) ketika si anak di jemput oleh kawan yang bukan muhrimnya.

Adanya peran orang tua untuk mencegah anak melakukan pelanggaran syari’at akan lebih memudahkan Dinas Syari’at Islam yang serba keterbatasan dalam mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.  Secara  tidak langsung personil (Wilayatul Hisbah) sudah bertambah pada setiap keluarga (orang tua). Dengan adanya dukungan dan kerja sama tiga elemen ini (aturan, orang tua dan Dinas Syari’at Islam) Insya Allah  pelanggaran Syari’at Islam terutama kasus-kasus Ikhtilath akan  tidak ada lagi terjadi di bumi serambi mekkah, maka kaffah-lah syari’at Islam di Aceh.

*Penulis Merupakan Alumnus  Fakultas Syari`ah Jurusan Jinayah wa Siyasah IAIN Ar-Raniry serta penggagas lembaga Aceh Syari’ah Watch (ASW).

2 komentar:

HMJ SJS IAIN AR RANIRY mengatakan...

Thank's atas tulisannya.
Kami menunggu karya-karya lainnya.

Anonim mengatakan...

Nice Post....
I Hope This Website alwasy give any information, dll

Posting Komentar

Please, Give Us Ur Coment's and We Will Be Good Insyaa Allah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls